Project Sosiologi bertopik "Interaksi Sosial'
Berikut ini adalah disajikan beberapa cerita anak-anak kelas 10 SMA Lentera Harapan Kupang terkait mata pelajaran Sosiologi yang diasuh Ibu Noviana Nggili. Topik project ini adalah Interaksi Sosial. Tujuan project ini adalah agar anak-anak bisa berinteraksi dengan orang baru, menggunakan media sosial untuk hal-hal yang membangun, sekaligus berbagi kasih.
Kelompok Genaro dkk
Pada hari Sabtu, 3 November 2016 kelompok kami
yang terdiri dari Reinhard Bolung, Eldad Witarsa, Genaro Panie, Leo Lontorin,
Ovan Lian dan Kevin Lay telah melaksanakan kegiatan berinteraksi dengan seorang
anak penjual koran yang bernama Yorin.
Dari hasil wawancara kami ternyata Yorin bersekolah di SMP Negeri 13 dan telah
duduk di kelas 2. Ayah Yorin bekerja sebagai tukang ojek sedangkan ibu Yorin
adalah seorang ibu rumah tangga. Keluarga ini tinggal di Maulafa. Yorin biasanya menjual koran setelah pulang
sekolah yaitu pukul 11 siang. Biasanya ayahnya yang mengantar dia ke
tempat dia berjualan (Lampu merah dekat Kantor Gubernur NTT). Penjualan Yorin
meliputi : Koran Timex dan Pos Kupang. Koran Timex seharga Rp 4.000, dan Pos
Kupang seharga Rp 3.000, dengan keuntungan untuk Yorin Rp 1000,/koran yang laku
terjual. Dari penjualan ini dia biasanya mendapat keuntungan RP
20-30.000,/hari.
Setelah
wawancara kami membeli koran Yorin (masing-masing orang 1 koran) dan memberikan
dia sedikit tanda terima kasih karena sudah mau kami wawancarai. Dari wawancara
ini kelompok kami belajar, bagi orang-orang yang sudah berkecukupan hidupnya
bersyukurlah senantiasa, dan bagi orang-orang yang hidupnya seperti Yorin tetaplah
berusaha menggapai cita-cita, jangan pernah patah semangat.
Demikian
laporan kami. Terima kasih. Tuhan memberkati.
Sumber: Genaro Panie, dkk |
Sumber: Genaro Panie, dkk |
Josafat
Saya melakukan eksperimen ini hanya saya
sendiri Josafat Sipayung. Saya mewawancari seorang anak yang bernama Tunas. Dia seorang pelajar yang
bersekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa). Pekerjaannya sehari-hari adalah
membantu kedua orang tuanya bekerja di rumah, cuci piring, menimba air, mengambil makanan babi, dan
pekerjaan rumah lainnya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dan ayahnya
bekerja sebagai tukang bangunan yang bertempat di Lasiana.
Dalam usia yang sangat
muda, Tunas sudah
terbiasa bekerja keras. Dia harus membagi waktu sekolah dan pekerjaannya
dengan baik. Tunas biasanya bekerja sepulang sekolah dengan
mencari makanan babi. Dalam satu hari dia mendapatkan makanan babi sebanyak 2
ember. Tunas melakukan pekerjaan itu agar ia dapat membantu ayah dan ibunya
dalam meringankan beban pekerjaan dirumah. Pekerjaan yang dilakukan
Tunas tidak membuatnya frustrasi atau patah semangat, tapi dapat membuat dia
menjadi lebih baik di kemudian hari.
Setelah saya melakukan wawancara saya mengambil waktu bersama dia untuk
menonton film Naruto di Youtube agar dapar menyenangkan hati dan memberikan
perhatian kepada dia karena mungkin kurangnya waktu luang dalam bersantai
dibandingkan bekerja.
Dalam
eksperimen ini saya dapat mengerti, bahwa apa yang kita inginkan di suatu hari nanti membutuhkan proses dengan liku-liku kehidupan
yang panjang agar di hari kemudian
kita dapat berhasil . Seperti Tunas, mungkin sekarang dia terbiasa bekerja
keras dalam usia muda namun nanti saat dia sudah dewasa, dia tidak susah lagi
dalam melakukan entrepreneurship.
Ingat kutipan proses pasti tidak akan mengecewakan hasil.
Ingat kutipan proses pasti tidak akan mengecewakan hasil.
Semoga
eksperimen dan hasil wawancara ini dapat memberkati kita semua.
God Bless You
.
Sumber: Yosafat Sipayung |
Sumber: Yosafat Sipayung |
***
Kelompok Wasti, dkk
Hidup bukanlah hal yang mudah. Orang berusaha dan
bekerja keras untuk memenuhi keluarganya dan menafkahi keluarganya. Begitu juga
kehidupan dari seorang kakek berusia 76 tahun yang bekerja keras demi menafkahi
keluarganya. Kakek ini bekerja sebagai seorang pemulung karena ia tidak tahu
harus bekerja apalagi dengan usianya yang sudah tua ini. Walaupun usianya sudah
berkepala 7 tapi masih memiliki semangat juang untuk menafkahi keluarganya terutama menyekolahkan anak-anaknya dengan kondisi
keuangan ekonomi yang terbatas. Anak-anaknya pun turut membantu ayah mereka
yaitu dengan memungut dan mengumpulkan botol-botol bekas sesudah pulang
sekolah.
Semoga cerita
ini dapat menginspirasi kita bahwa kita tidak boleh menyerah begitu saja dalam
kesulitan apapun. Dan kita harus tetap bersyukur dengan kehidupan yang telah
Tuhan berikan.
Kami sekelompok sangat senang karena dapat berinteraksi langsung dengan orang yang dapat menginspirasi kita dengan perjalanan kehidupanya dan juga kita mendapat banyak pelajaran untuk memperbaki hidup kita.
Kami sekelompok sangat senang karena dapat berinteraksi langsung dengan orang yang dapat menginspirasi kita dengan perjalanan kehidupanya dan juga kita mendapat banyak pelajaran untuk memperbaki hidup kita.
Group member:
Anggra Maubanu,Crisintia Sampow, Denfince Hauteas, Jeilo Koli, & Prita
Manafe.
Sumber: Wasti Sampow, dkk |
Sumber: Wasti Sampow, dkk |
Kelompok Yorgin, dkk
Bapak yang kami wawancarai bernama Bapak Niko.
Beliau seorang penjual koran yang
sudah lanjut usia. Istrinya sendiri sudah meninggal, dan ia harus menghidupi kelima
anaknya yang bersekolah.
Dia bekerja sebagai penjual koran dari pagi sampai sore setiap harinya dan menjadi tukang parkir setiap hari Senin di salah satu bank di kota kupang. Dalam bekerja sebagai penjual koran, biasanya Pak Niko menerima 50 koran dalam sehari untuk dijualnya. Ia harus menjual koran itu sampai habis setiap harinya agar bisa mendapatkan keuntungan. Jika koran itu tidak laku habis dijualnya, Pak Niko harus menanggung resikonya, yakni harus melunasi semua koran yang diambillnya dari tempat ia mengambil koran itu. Penghasilan yang ia dapat jika semua korannya laku terjual dalam sehari adalah 50 ribu, yang jika dicermati, mungkin penghasilan yang didapatnya itu hanya cukup untuk makan dan minum sehari-hari keluarganya.
Kami bertanya mengapa ia tidak meminta anaknya untuk
bekerja sampingan berhubung anak sulungnya sudah kuliah.
Beliau menjawab, “Saya tidak ingin mengganggu mereka. Biarkan
mereka fokus belajar dan bisa menjadi sukses. Ini tugas saya sebagai orang tua
untuk menghidupi mereka bukan menyusahkan mereka,”
Sungguh
jawaban yang sangat luar biasa dari seorang yang tiap harinya harus berada di bawah panas teriknnya sinar matahari di kota Kupang.
Dari cerita Pak Niko, marilah kita belajar untuk menjadi pribadi yang selalu bersyukur atas apapun yang kita miliki dan selalu menghormati kedua orang tua kita yang telah bersusah payah merawat dan memelihara kita.
Semoga hasil wawancara ini dapat memberkati kita
semua.
Salam dari Yorgin, Annly, Orpa, Imro & Argi.
God Bless you.
***
Kelompok Matthew, dkk
Pada hari Kamis tanggal 1 Desember 2016, saya dan teman sekelompok melakukan
eksperimen sosial di pasar Oebobo. Kami berjalan mengelilingi pasar dan menemukan anak kecil yang sedang bermain
bersama teman temannya. Saya dan
David mengikuti anak itu sampai di rumahnya. Sesampai di rumahnya,
kami melihat rumah anak itu yang
sederhana.
Nama anak ini Zakaria. Ayah dan ibunya adalah seorang petani. Kami bertanya tentang kehidupannya sehari-hari. Katanya, setiap hari dia membantu ayah dan ibunya di sawah setelah pulang sekolah. Mengenai
makanan, setiap hari dia makan sayur terkadang telur. Dia belum pernah makan ayam.
Kami memutuskan
membawanya
ke Brotus, satu tempat makan terdekat. Kami memesan ayam
untuknya lalu dia makan dengan lahap ayam itu. Lalu kami pun bertanya
bagaimana rasanya. Katanya, rasanya enak
sekali. Kami semua turut bahagia karena bisa mewujudkan impian
anak ini makan ayam. Kami senang juga bisa memberi dengan tulus dan ikhlas
Hidup akan indah jika kita memberi dan tidak ada orang di dunia ini yang miskin karena memberi.
Anggota kelompok: Matthew Matulessy, David Ridho, Vito Lino, Albert Patiung, Andre Josua, Lucky Radja Pono.
Hidup akan indah jika kita memberi dan tidak ada orang di dunia ini yang miskin karena memberi.
Anggota kelompok: Matthew Matulessy, David Ridho, Vito Lino, Albert Patiung, Andre Josua, Lucky Radja Pono.
Sumber: Mathew Matulessy, dkk |
Sumber: Matthew Matulessy, dkk |
Komentar
Posting Komentar